Senin, 09 Juni 2014

Curcol

Sejak Sekolah Dasar kita telah dikenalkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak pernah hidup sendirian. Bahkan Tarzan yang dibesarkan di hutan hidup dibantu oleh komunitas kera. Demikian besarnya pengaruh orang lain terhadap kehidupan kita, sampai-sampai orang lain itu bisa mempengaruhi pola pikir kita. Tak heran apabila kita berkawan dengan penjual minyak wangi maka kita juga akan kecipratan wanginya,, sedangkan kalau kita berteman dengan seorang pande besi ya kita kena bau asapnya.
Hanya saja untuk bergaul juga ada ilmunya. Karakter masing-masing individu juga berpengaruh terhadap lingkaran sosialnya. Begitu pun dengan anda maupun dengan saya. Tiap orang itu unik dan tiap orang punya penanganan sendiri. Memahami orang lain. Hanya saja memahami orang lain belum lah cukup. Perlu sikap yang mesti ditunjukkan untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Ini pun ada ilmunya. Dan saya belum sampai ke tahap itu.
Sulit bagi saya untuk mengungkapkannya. Bahkan dulu sempat depresi juga untuk menerimanya. Entahlah. Saya tahu itu kelemahan saya dan kelemahan harusnya bisa diminimalisir. Akan tetapi titik mulainya itu yang saya tidak paham dan ini membuat frustasi. Sampai akhirnya saya mulai masuk ke dunia kerja yang dituntut untuk bisa bekerja sama dengan orang lain. Ini tidak mudah. Bahkan saya harus mencari polanya. Dan hingga sekarang aku masih terus mencari.

Sabtu, 05 April 2014

Wanita Nomor Satu

Ibu,, itulah panggilannya. Ibu yang sering ku panggil Mamak ialah wanita nomor satu ku. 
Dahulu bagiku mamakku "just" Mamak yang melahirkanku. Mamak yang "memang bertugas sebagai Mamak" untuk anak-anaknya. Pandanganku ini karena aku menganggap Mamakku tidak pernah memberikan kasih sayangnya padaku. Mamakku membedakan aku dengan adikku. Mamakku meninggalkan aku di Jogja dengan Simbok yang sudah tua. Hal ini dilakukan kedua orang tuaku mengingat Simbok yang sudah tua namun tidak ada yang menjaga sedangkan Bapak di Bekasi tak dapat hidup seorang diri sebab stroke ringan mendera tubuhnya yang mulai tua.

Sampai dewasa jika aku mengingat hal itu membuatku menjadi sesak sendiri. Pernah suatu ketika aku menuntut kepada Bapak Mamak dan aku "memberontak" sejadi-jadinya. Ku utarakan semua beban yang ku tanggung itu dengan setengah berteriak. Sampai akhirnya Mamakku terisak dan Bapak yang hanya bisa menatap nanar dengan mata berkaca. Di ruang itu kami hanya terdiam. Hanya suara sesenggukan Mamak dan aku yang menggema di gubuk kecil kami. Sampai akhirnya Bapak angkat suara dan menenangkanku. Aku yang egois pun meninggalkan mereka di tengah kekagetan mereka.

Setelah ku ungkapkan isi hati yang bagai bom waktu di hati itu rasanya plong. Bapak dan Mamak tidak pernah marah. Setelah kejadian itu kami menjadi mengerti. Meskipun ku tahu Bapak dan Mamak pasti sedih. Peristiwa itu membuat kami menjadi banyak belajar. Aku tahu apa yang dikerjakan orang tuaku ketika itu. Mereka berusaha melakukan yang terbaik untukku. Di rumah petak nun jauh di sana mereka berjuang meraup rejeki yang berserak di Bumi Allah. Ku kuatkan ingatanku ketika aku kecil dulu. Dan ku tahu apa yang ku perbuat (berteriak) pada Mamak dan Bapakku telah keliru. Namun aku tidak pernah menyesal karena setelah itu semua berjalan dengan baik-baik saja. Mamak dan Bapak tau apa yang ku mau sedangkan aku tahu betapa besar cinta mereka untukku.

Singkat cerita kini aku makin cinta pada Mamak dan Bapakku. Dan kecintaanku pada Mamakku kini menjadikan Mamak sebagai wanita nomor satu di hatiku. Aku yang kini mulai banyak bercerita pada Mamak dan Mamak yang mengajari kehidupan padaku. Tidak bukan mulai mengajari hanya meneruskan pendidikan part 2-nya kepadaku. Mengajarkan perjuangannya menjadi seorang ibu kepadaku. Meski aku belum menjadi seorang ibu tentu saja. Aku menikmati romansa kepingan episode kehidupanku ketika ku menjajaki fase dewasa ini.

Belajar dari sejarah Mamak melahirkanku. Belajar mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga. Baru tiga hari rasanya saja sudah tidak kuat. Sedangkan Mamak sudah melakukan urusan ini sejak 23 tahun silam. Masya Allah. Maka aku hanya bisa memeluk engkau dari belakang Mak, Wanita Nomor Satuku.

Jumat, 04 April 2014

Tema Skripsi

Tulisan kali ini dimulai dengan senyuman. J. Sudah terlihat ikhlas dan menyenangkan belum?? hehehe. 

Setelah sekian lama tidak menulis terasa menyenangkan ketika kita memulainya kembali. #lebay hahaha. Tetapi ini sungguhan adanya. Dimulai dengan kalimat yang sok baku di awalnya. :p. Jarang kan aku menulis dengan kata baku hehehe.

Ini sebuah curahan hati seorang cucu adam yang entah penting atau tidak bagi orang lain tetapi ia tetap menikmatinya. Seorang mahasiswa semester akhir yang berkutat dengan skripsi yang menguras hati, jiwa, perasaan, uang, pikiran, tenaga dan persahabatan. 

Sudah dua bulan, semester delapan menjajaki hari-hari mahasiswa semester akhir seperti aku dan teman-temanku. Kami dibenturkan dengan idealisme dan juga realita yang ada di depan mata kami. Terlebih dengan skripsi. Banyak di antara kami mengharapkan skripsi atau tugas akhir dibuat memang betul-betul dibutuhkan, sesuai keinginan dan cita-cita kami. Kami beranggapan bahwa membuat produk itu ya dengan kecintaan yang dibalut dengan seseuatu yang sempurna menurut parameter kami. Itulah yang dirasakan keempat mahasiswi tingkat akhir (aku dan ketiga temanku.red).

Singkat cerita dengan jalan yang berliku, lewati gunung, lembah, gurun pasir untuk dapat kitab kuning (apaan sih).. kami tiba di sebuah cerita bahwa dari kami berempat hanya satu temanku yang akhirnya telah menemukan judul skripsinya. Sedangkan kami bertiga masih mencari....mencari...dan terus mencari...
Selesai... dan to be continued... 

Lalu temanku tanya,, "Udah gitu doang???"
Kujawab,, "ia". 
Temanku =.="


Tulisan Ge-Je di Sore ini